Popular
- Prohibition on Debit- and Credit-Card Double Swiping
- PN Jaksel Nyatakan Kepengurusan BANI Mampang Tidak Sah
- Advokat Wajib Bertransformasi di Pasar Internasional
- Persaingan Kian Ketat, HKHPM Gagas Aturan Biaya Jasa Hukum Pasar Modal dan Keuangan
- ‘Aturan Turunan’ Road Map e-Commerce Jangan Sampai Hambat Pelaku Usaha
The Communication and Information System Security Research Center (CISSRec) has reminded debit- and credit-card owners of the dangers of swiping cards on devices other than Electronic Data Capture (EDC) machines. In order to tackle this issue, Bank Indonesia (BI) has issued Bank Indonesia Regulation No. 18/40/PBI/2016on the Implementation of Processing for Payment Transactions.
CISSRec chairman, Pratama Persadha, stated recently that Bank Indonesia was concerned that so-called “double swiping”, i.e. swiping cards through cash registers, as well as through official EDC machines, could lead to customer data being recorded on cash register computers, which could in turn ultimately lead to misuses of data. Mr. Persadha added that the security of debit and credit cards in Indonesia was far from watertight and thus it the duplication of data was a relatively simple matter. “The moment that a card is swiped through a card reader attached to a cashier’s computer, then the card data is read and copied,” Mr Persadha asserted.
Mr. Persadha added that it was important for card holders to keep their Private Identification Numbers (PIN) a secret, as when data is duplicated, it can subsequently be used for anything. In Indonesia, credit-card data can be used immediately, whereas the more commonly used debit cards require PINs.
Mr. Persadha asserted that BI should be constantly reminding customers of the importance of securing their debit- and credit-card data. In addition, it is also seen as necessary to standardize the security of personal data in line with State Cyber and Cryptography Agency (Badan Siber dan Sandi Negara – BSSN) guidelines. The BSSN is an institution which formulates personal-data security standards for implementation by banking and other institutions of national importance.
Mr. Persadha asserts that is imperative that personal data is fully protected but that until now, the various regulations which address this issue have overlapped with each other, resulting in only partial security. Therefore, Mr. Persadha believes that in this digital era, a comprehensive, all-encompassing personal-data security law should be introduced as a regulatory framework which applies to all types of user data.
Mr. Persadha also added that the affirmation of electronic security must be followed up by the implementation of a rigorous information-security management process. Mr Persadha thus believes that personal-data security standards must address adequate rights and obligations, both for consumers and electronic-service providers.
Bank Indonesia Governor, Agus D.W Martowardojo has also stated in the past that a regulation specifically prohibiting double swiping should be introduced, as this practice can lead to two types of reporting. Firstly, reporting to the acquiring bank, as incorporated by the related merchant and secondly, direct reporting to BI, as deemed necessary.
Accelerated Service
Taking an opposing view is Roy Mandey, Chairman of the Indonesian Retail Business Association (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia – Aprindo), who states that the swiping of both credit and debit cards through cash registers is performed in order to accelerate payment services. “We aim to offer decent services through quick transactions,” explained Mr. Mandey.
Mr. Mandey claims that that the swiping process is used in order to validate purchase data. Through this validation process, it is possible to accelerate payment services and avoid the manual process of recording debit- and credit-card numbers, which takes more time and which can lead to longer queues, inconveniencing customers in the process.
Mr. Mandey also affirmed that swiping does not involve any theft of customer data, as the related retail companies do not have access to such data in any detail, and that addresses and telephone numbers can therefore not be taken. Furthermore, Mr Mandey has claimed that this validation is vital due to the fact that the incorrect entering of transaction values or similar data still occurs from time to time.
However, Mr Mandey believes that in order to provide decent service to the general public, retail companies should demonstrate their willingness to implement BI regulations by not swiping credit and debit cards through cash registers. “In principle, we want to prioritize public service and we have already disseminated this goal among our members. As a result of this recommendation, our members have already started to reduce their double swiping and to return to the old manual system,” Mr Mandey concluded.
(ap/sp)
Sumber: hukumonline.com
Tren firma hukum asing membuka cabang di yurisdiksi lintas negara harus diimbangi dengan daya saing dan networking advokat Indonesia. Kemahiran bahasa Inggris menjadi syarat mutlak.
Kemampuan berbahasa Inggris bagi advokat yang bergerak di bidang korporasi sudah menjadi hal biasa karena pekerjaan rutin membaca kontrak dagang internasional dan dokumen-dokumen berbahasa Inggris. Namun, bukan berarti yang litigasi tak perlu mahir berbahasa Inggris.
Tuntutan persaingan pasar dalam bidang jasa hukum mendorong advokat wajib meningkatkan kompetensi penunjang. Atas dasar itu, kemahiran berbahasa Inggris tidak lagi sekadar pelengkap dalam layanan jasa advokat, namun sudah menjadi bagian dari layanan utama. Apalagi peluang besar jasa advokat di era global saat ini adalah kegiatan bisnis korporasi berjaringan global.
Kantor-kantor advokat pun giat bergabung dalam kemitraan khusus dengan kantor advokat luar negeri untuk memperluas jangkauan pemasaran. Semakin banyak pula kantor advokat yang mempekerjakan secara langsung advokat asing untuk menunjang layanan internasional mereka.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kubu Fauzi Yusuf Hasibuan, Ricardo Simanjuntak, bersama Ketua Bidang Hubungan Internasional, Aloysius Haryo Wibowo, berbagi tips dan motivasi bertransformasi dalam kancah persaingan ini pada English Club Discussion PERADI, Rabu (30/8) kemarin.
Sejumlah anggota PERADI yang hadir pun aktif mengikuti diskusi yang dilakukan dalam bahasa Inggris sepanjang acara berlangsung. Tema kali ini “Transforming Indonesian Lawyers into Qualified Legal Profesional in International Market”.
Ricardo mengutip data yang dikemukakan oleh Kementerian Luar Negeri bahwa ASEAN adalah salah satu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat sejak 2007-2015. Dengan adanya ASEAN Economic Community dengan sejumlah fasilitas perdagangan bebas regional, ada peluang besar bagi para advokat menangani kebutuhan layanan jasa hukum bisnis di dalamnya.
Total produk domestik bruto ASEAN saat ini menurut Ricardo lebih dari AS$2,55 triliun dengan rata-rata PDB per kapita mencapai AS$4021. “Inilah peluang yang kita hadapi di pasar ASEAN saja,” katanya.
Hal serupa disampaikan oleh Haryo. Dengan berkembangnya sektor bisnis, maka ada permintaan yang akan semakin bertambah bagi layanan jasa hukum. Dibutuhkan kesiapan optimal dari para advokat Indonesia untuk persaingan bidang jasa hukum dengan advokat asing di kawasan ASEAN dalam masa perkembangan ini.
Belum lagi dengan tren firma hukum asing membuka cabang di yurisdiksi lintas negara harus diimbangi dengan daya saing dan networking advokat Indonesia. Kemahiran Bahasa Inggris menjadi syarat mutlak. Para advokat harus mampu berjejaring dalam skala global untuk berbagai isu hukum yang berkembang.
Ricardo menyampaikan dengan kesibukan para advokat, khususnya para advokat litigasi, tidak menjadi alasan untuk tidak meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mereka. Ia membagikan tips dengan cara mudah misalnya dengan menonton film Hollywood.
“Tonton empat kali. Yang pertama pakai subtitle, kali kedua masih pakai subtitle tapi fokus pada pronunciation, kali ketiga matikan subtitle-nya sambil menulis kosakata yang belum dimengerti artinya sambil menonton, nanti cari artinya setelah nonton, kali keempat nonton tanpa subtitle dan anda pasti sudah paham keseluruhan makna dialognya,” jelasnya.
Menurut lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, kemampuan berbahasa Inggris bagi advokat yang ingin masuk ke pasar internasional ibarat kemampuan matematika dalam mengerjakan soal-soal fisika. Sebelum advokat berhadapan langsung dengan bahan dan dokumen-dokumen berbahasa asing, mereka harus lebih dahulu memahami bahasa asing yang digunakan.
“Mulai lancarkan dari bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi dulu, nanti baru sebagai media ilmu pengetahuan hukumnya,” lanjutnya.
Haryo juga menambahkan bahwa dalam praktiknya, bahasa Inggris dalam terminologi hukum akan jauh lebih rumit karena banyak kosakata yang berbeda serta terus berkembang. Sementara bahasa hukum dalam bahasa Indonesia masih tertinggal atau “miskin” kosakata.
“Untuk itu menjadi keharusan bagi advokat yang ingin masuk dalam kancah pasar internasional untuk serius meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mereka,” katanya.
Sumber: hukumonline.com
Gugatan ahli waris pendiri BANI Mampang dikabulkan sebagian. Tergugat masih akan mendiskusikan putusan pengadilan dan langkah selanjutnya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan kepengurusan Badan Arbitrase Nasional (BANI) Mampang tidak sah. Alasannya, kepengurusan tersebut dianggap tidak sesuai dengan Statuta BANI tertanggal 11 Oktober 2006. Dilansir dari laman www.baniarbitration.org kepengurusan BANI Mampang saat ini diketuai Husseyn Umar, beranggotakan Huala Adolf, Anangga W. Roosdiono, dan N. Krisnawenda.
Majelis menjatuhkan putusan itu atas gugatan yang diajukan ahli waris pendiri BANI. Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Achmad Guntur sebagai ketua, Irwan dan Surachmat sebagai anggota menyatakan Statuta BANI harus dipenuhi semua pihak. Menurut majelis, peran para pendiri yang sudah meninggal dapat diambil alih oleh para ahli warisnya mengingat peran pendiri masih melekat sepanjang BANI masih berdiri.
Menurut majelis, penetapan Dewan Pengurus saat ini tidak sesuai dengan Statuta BANI karena tidak melibatkan pendiri atau ahli waris yang sah dari para pendiri tersebut. BANI didirikan sejumlah ahli hukum seperti (almarhum) Soebekti, Harjono Tjitrosoebeno dan Priyatna Abdurrasyid pada 1977 dan didukung penuh oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Penggugat I–III yaitu Arman Sidharta Tjitrosoebeno, Arno Gautama Harjono dan Arya Paramita adalah anak kandung dan ahli waris dari (alm) Harjono Tjitrosoebeno. Sedangkan penggugat IV–VII adalah Nurul Mayafaiza Permita Leila, Dewi S. Permata Vitri, Mounti Rigveda Putra dan Dewi Saraswati Permata Suri adalah anak kandung dari (alm) Priyatna Abdurrasyid.
Para penggugat melayangkan gugatan terhadap tergugat M. Husseyn Umar (Tergugat I), Harianto Sunidja (Tergugat II), dan N. Krisnawenda (Tergugat III). Selain itu ada juga nama pihak lain yang menjadi turut tergugat.
Majelis menyatakan kepengurusan BANI oleh tergugat bertentangan dengan Statuta BANI. “Tergugat yang duduk dalam kepengurusan tidak sesuai Statuta BANI, maka tergugat sebagai pengurus BANI telah melakukan perbuatan melawan hukum,” ujar majelis dalam putusan yang dibacakan Selasa (22/8) lalu.
Statuta BANI | |
Pasal 4 ayat (2) | Dewan Pendiri mengangkat/menetapkan Dewan Pengurus BANI |
Pasal 7 ayat (2) | Para fungsionaris Dewan Pengurus diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pendiri |
Peran BANI dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan tak diragukan lagi. Cuma, dalam perkembangannya, BANI dianggap bukan lagi organisasi nirlaba seperti yang ada dalam Statuta. Hal ini terlihat dari laporan keuangan BANI yang dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan ada juga yang berbentuk deposito. Namun majelis tidak menjelaskan secara rinci berapa jumlah kas dan nominal dalam deposito BANI dimaksud.
Majelis menguraikan pada awal berdirinya uang diambil dari para pendiri. Para pendiri saat itu bukan mencari profit atau tidak terpikir dalam kegiatannya nanti akan mendapat profit. Dengan berkembangnya keadaan saat ini ternyata kegiatan BANI memungut biaya sehingga bukan lagi nirlaba. Kondisi ini menurut majelis menimbulkan konsekuensi. “Sehingga kumpulan orang-orang dalam perkumpulan BANI terdapat tujuan selain menyelesaikan sengketa, juga terdapat keuntungan atau pemasukan,” ujar majelis.
Dalam putusannya majelis bukan saja menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dan menyatakan kepengurusan BANI Mampang tidak sah dan tidak memiliki kedudukan hukum, tetapi juga menyatakan kepengurusan BANI saat ini demosioner dengan berlakunya Pasal 4 juncto Pasal 7 ayat (2) statuta BANI.
Selain itu, majelis juga mengabulkan BANI (Souverign) secara sah dan mengikat baik dalam hal pembentukan, pendirian, pengangkatan, maupun penunjukannya. Majelis menyatakan R. Soebekti, Suwoto Sukendar, Yulius Yahya, Harjono Tjitrosoebeno, Priyatna Abdurrasyid, dan J. Abubakar adalah pendiri BANI.
Namun, tak semua petitum penggugat dikabulkan. Misalnya, mengenai gugatan ganti rugi materil dan immaterial. Majelis menolak permintaan ganti rugi materiil Rp26,696 miliar dan immaterial Rp50 miliar. Majelis juga menolak sita jaminan atas bangunan di Menara 165 Unit D Lantai 8 di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Permintaan agar putusan dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada banding atau kasasi juga ditolak majelis.
Demikian pula nilai uang paksa (dwangsom) jika tergugat tidak menjalankan putusan majelis. Majelis hanya mengabulkan Rp500 ribu bukan satu juta rupiah seperti petitim para penggugat.
Andy Putra Kusuma, penasihat hukum para penggugat dari kantor hukum Anita Kolopaking & Partners mengapresiasi putusan majelis dalam perkara No. 674/Pdt.G/2017/PN.Jaksel itu karena telah sesuai dengan fakta persidangan. Andi menambahkan dari pertimbangan majelis diketahui bahwa majelis hakim berpendapat BANI Mampang menyimpang dari maksud pendirian BANI yaitu perkumpulan atau perserikatan nirlaba. Tindakan BANI Mampang terhadap pihak ketiga guna mendapatkan keuntungan secara terus menerus secara otomatis membuatnya tidak lagi dapat dikatakan perkumpulan atau perserikatan nirlaba.
"Melainkan suatu persekutuan perdata yang dimana dengan meninggalnya Para pendiri maka segala hak, peranan, dan bahkan keuntungan yang menjadi bagian dari para pendiri turun kepada ahli waris para pendiri," ujar Andy dalam kepada hukumonline.
Sebaliknya, kuasa hukum tergugat dari kantor hukum Amir Syamsudin & Partners, Kharisma Rani Timur, enggan berbicara banyak mengenai putusan ini karena masih akan mendiskusikan langkah selanjutnya dengan kliennya. "Kami akan diskusikan dulu, " ujar Kharisma seusai sidang.
Klarifikasi
Andy juga menyatakan perkara gugatan perbuatan melawan hukum ini adalah gugatan yang murni dikehendaki oleh ahli waris para pendiri yang diakibatkan tindakan-tindakan pengurus BANI Mampang yang seakan-akan ‘menelantarkan’ para pendiri BANI. Ahli waris datang ke kantor hukum Anita Kolopaking & Partners meminta bantuan dalam memperjuangkan hak-hak para pendiri BANI.
Oleh karena itu, menurut Andy tidaklah benar pemberitaan hukumonline berjudul “BANI Versi Mampang: BANI Pembaharuan Lakukan Perbuatan Melawan Hukum” tertanggal 9 September 2016. Ia meluruskan pernyataan paragraf 5-7 pemberitaan tersebut. Seperti dimuat dalam pemberitaan, M. Husseyn Umar selaku Ketua Pengurus BANI Mampang, dalam konferensi pers menyatakan: "Bahwa memang ini ternyata adalah arbiter BANI yang telah dicoret. Arbiter yang dicoret ini telah diberi teguran oleh pengurus BANI. Setelah diperiksa, AK telah melakukan tindakan yang tidak layak. Kemudian dia menghasut dengan mengatakan BANI mau meninggalkan jejak-jejak para pendiri, padahal nama ruangan di gedung ini nama pendiri. Ada foto-foto pendiri juga, bagaimana bisa kami dikatakan meninggalkan jejak para pendiri".
Dikutip juga dalam pemberitaan, Husseyn mengatakan BANI adalah lembaga arbitrase yang dibuat oleh KADIN, sehingga tidak ada urusan dengan ahli waris. Hal tersebut yang digunakan oleh AK untuk mempengaruhi dan mengatakan ada hak yang harus diambil dari BANI. "Ada hasut, ada suatu hak yang harus diambil. Ini bukan aset pribadi yang diwariskan, mungkin ahli waris dihasut, kita juga mengajak ahli waris untuk menjadi arbiter atau staf, hubungan kita dengan ahli waris baik-baik saja," katanya.
Andy meluruskan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah ahli waris para pendiri BANI yang meminta kantor hukum Anita Kolopaking & Partners untuk menjadi kuasa hukumnya dalam memperjuangkan segala hak-hak ahli waris para pendiri BANI. "Khususnya ahli waris Prof. Priyatna dikarenakan kami dari dulu telah menjadi kuasa hukum keluarga Prof. Priyatna dalam berbagai permasalahan yang dihadapi oleh keluarga Prof. Priyatna sebelumnya," ujar Andy.
Keluhan ahli waris Priyatna mengenai hak-hak mereka di BANI Mampang, kata Andy, bahkan telah disampaikan kepada pengurus BANI Mampang sejak 2015, jauh sebelum adanya dualisme BANI. Namun BANI Mampang mengangap ali waris para pendiri BANI tidak memiliki hak waris atas BANI dengan alasan bahwa BANI adalah suatu organisasi sehingga tidak ada hubungannya dengan ahli waris.
Menurut Andy, tidak benar BANI menyatakan Anita D.A Kolopaking yang menghasut kliennya untuk memperjuangkan hak-hak mereka. "Tanggapan tersebutlah yang kemudian mendorong ahli waris untuk memperjuangkan hak-haknya di BANI dan menunjuk kami selaku kuasa hukumnya guna menyelesaikan permasalahan waris tersebut,” jelasnya.
Sumber: hukumonline.com
Pengaturan ini berguna untuk menghindari implikasi kompetisi tak sehat pada kualitas layanan jasa hukum.
Persaingan global ikut mempengaruhi layanan jasa hukum. Apalagi jumlah konsultan hukum di dalam negeri terus bertambah, dan berimplikasi pada persaingan antar konsultan hukum. Sejumlah konsultan hukum pasar modal dan keuangan mengharapkan perkembangan iklim kompetitif ini diantisipasi.
Merespons aspirasi anggotanya, Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) menggagas pengaturan biaya jasa hukum sebagai solusi atas semakin kompetitifnya persaingan layanan jasa hukum pasar modal dan keuangan. Gagasan ini juga mengemuka dalam seminar ‘Persaingan Usaha yang Sehat dalam Jasa Hukum di Indonesia, di Jakarta, Senin (21/8) kemarin.
Ketua Umum HKHPM, Indra Safitri menjelaskan gagasan tersebut sebagai langkah antisipatif agar kualitas layanan jasa konsultan hukum pasar modal yang menyangkut kepentingan publik tidak merosot. “Jasa hukum kita berkaitan dengan kepentingan publik. Kita merasa perlu menetapkan langkah-langkah yang terbaik agar persaingan jasa ini tidak justru melemahkan kualitas layanan,” katanya kepada hukumonline.
Indra menambahkan anggota HKHPM yang kian bertambah banyak merasakan adanya penurunan daya tawar harga layanan jasa hukum pasar modal dan keuangan. Ia mencontohkan tawaran-tawaran harga penanganan suatu go public calon klien semakin turun. “Makin lama makin kecil,” ujarnya.
HKHPM berharap dapat membuat pedoman penetapan biaya jasa hukum bagi anggotanya. Urgensi penetapan itu berangkat dari kesadaran agar profesi konsultan hukum pasar modal lebih sehat. Tentunya pedoman ini lebih kepada himbauan tanpa adanya sanksi dan bersifat tidak mengikat mutlak. “Kalau ada sanksi kan tidak boleh kata KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha),” tambahnya.
Ketua KPPU, Syarkawi Rauf, yang hadir di acara yang sama, memang mewanti-wanti persaingan tidak sehat jasa hukum. Para konsultan hukum perlu melihat rambu-rambu persaingan usaha dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Syarkawi mengingatkan HKHPM agar berhati-hati dengan larangan kartel dalam Pasal 11 UU Antimonopoli yang berkaitan dengan kesepakatan tarif di antara pelaku usaha yang bersaing dalam pasar yang sama. “Saya tidak merekomendasikan, di asosiasi ini lebih bikin standar pelayanan minimum di jasa konsultan hukumnya itu seperti apa,” katanya.
Syarkawi berpendapat standar layanan minimum akan berpengaruh pada terciptanya standar tarif rata-rata secara alami ketimbang menetapkan kesepakatan besaran tarif. Sehingga jika yang dikhawatirkan adalah penurunan kualitas layanan akibat penawaran tarif yang bersaing, standar layanan minimum akan menjaga agar persaingan tarif tidak akan merugikan hak klien sebagai pengguna jasa.
Partner dari firma hukum SSEK Legal Consultants, Ira A. Eddymurthy, berbeda pendapat mengenai payung hukum yang bisa dipakai. Menurut Ira, yang relevan dengan kompetisi harga layanan jasa hukum adalah Pasal 20 UU Antimonopoli tentang penetapan harga sangat rendah untuk mematikan pesaing. Tetapi unsur larangan di pasal 20 pun ternyata tidak bisa digunakan jika melihat lebih jauh karakteristik pengguna jasa hukum, segmentasi pasar tiap kantor hukum, serta spesialisasi keahlian yang memang berbeda.
Ira menyimpulkan pada akhirnya Pasal 20 UU Antimonopoli pun tidak bisa digunakan untuk menyasar persoalan kompetisi harga di antara penyedia layanan jasa hukum. Ia justru melihat para konsultan hukum bekerja profesional dan rukun dalam menjalankan profesi. “Saya tidak melihat (unsur-unsur larangan) ini ada di firma hukum, kita (konsultan hukum pasar modal) rukun-rukun saja,” katanya.
Managing partner firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Mohamed Idwan Ganie, berpendapat persoalan utamanya ialah pekerjaan konsultan hukum pasar modal perlu untuk ditambah. Apakah jumlah konsultan hukum pasar modal keuangan akan terus ditambah meskipun volume pekerjaannya tidak banyak berubah? “Saya kira kalau khusus untuk HKHPM kita rasakan semuanya, kerjaannya yang kurang,” ujarnya kepada hukumonline.
Menurut Ganie, perusahaan go public yang ditangani konsultan hukum pasar modal terbatas; dan sebaliknya jumlah konsultan terus bertambah. “Mungkin yang harus dipikirkan adalah memperbanyak kerjaannya, kuenya diperbesar,” lanjutnya.
Ganie mencontohkan dengan cara mengusulkan kepada regulator agar diatur audit hukum secara rutin pada setiap perusahaan terbuka seperti adanya kewajiban audit keuangan rutin. Jika dikaitkan dengan kualitas layanan, kata dia, HKHPM sudah memiliki standar profesi yang sudah cukup baik.
Dalam seminar ini HKHPM membandingkan mekanisme yang berlangsung di sektor jasa audit keuangan oleh Akuntan Publik yang dalam peraturan asosiasi profesinya telah bersepakat mengatur indikator batas bawah tarif imbalan jasa. Meskipun memang penetapan imbalan jasa yang lebih rendah dari batas bawah tersebut bukan pelanggaran kode etik selama dapat dibuktikan standar teknis dan profesi mereka masih terpenuhi.
Sumber: hukumonline.com
Berkaitan dengan penetapan tarif dasar listrik dan air.
Belasan penghuni Rusunami Kalibata City menggugat pihak pengelola rumah susun itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka mempersoalkan penetapan tarif listrik dan air karena dianggap tak sesuai ketentuan perundang-undangan. Memberikan kuasa kepada kantor hukum Syamsul Munir & Partners, para penghuni menggugat PT Pradani Sukses Abadi, PT Prima Buana Internusa, dan Badan Pengelola Kalibata City. Sidang atas perkara ini dipimpin hakim Fery Agustina, dan kembali digelar Senin (21/8).
Dalam gugatan, para penghuni menganggap para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menetapkan harga air dan listrik yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam rentang waktu 2012–2016. Sehingga, dalam gugatan mereka meminta ganti rugi dengan nilai Rp23,176 miliar ditambah kerugian immateriil sebesar Rp1 miliar.
Perihal tarif listrik, penggugat menyatakan tarif yang dikenakan tidak sesuai dengan seharusnya. Penghuni seharusnya dikenakan biaya tarif untuk 900/220 volt ampere (VA) dan 1300/220 VA golongan R-1/TR (tarif subsidi), tetapi pengelola justru menarik iuran dengan tarif B-3/TM (golongan bisnis non subsidi).
Kemudian untuk tarif air, berdasarkan peraturan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 11 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis Air Minum telah terjadi kerugian para penggugat (I sampai XIII) yang dilakukan oleh Para Tergugat dengan mengenakan tarif maksimal untuk setiap pemakaian air bersih sebesar Rp7.450/meter kubik meskipun penggunaannya di bawah 10 meter kubik atau di bawah 20 meter kubik (m3). Seharusnya untuk pemakaian 10 m3 pertama tarifnya Rp4.900/m3 setelah itu pemakaian diatas 10 m3 hingga 20 m3 tarifnya Rp6.000/m3. Lalu, pemakaian di atas 20 m3 tarifnya Rp7.450/m3.
“Berkaitan dengan tarif biaya beban tetap air bersih berdasarkan Peraturan Gubernur No. 11 Tahun 2007 telah terjadi kerugian yang dialami oleh Para Penggugat. Para Tergugat membebankan kepada Penggugat Isampai Penggugat XIII sebesar Rp11.950/bulan, yang seharusnya hanya Rp7.550/bulan”.
Selain itu, para Tergugat juga membebankan kepada Penggugat XIII sebesar Rp27.665/bulan, yang seharusnya hanya Rp14.190/bulan. Pihak Tergugat dianggap sewenang-wenang membebankan biaya tambahan air, kepada Penggugat sebesar 5% dari total biaya pemakaian dan biaya tetap air. Padahal sesuai Peraturan Gubernur No. 11 Tahun 2007 di atas tidak diatur komponen biaya dimaksud.
Dalam petitumnya, selain meminta ganti rugi kerugian materiil dan immateriil, penggugat juga meminta majelis agar memutuskan para pengguggat menetapkan tarif listrik dan air sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, mereka juga meminta sita jaminan berupa sebidang ruang yang dioperasikan Tergugat III dalam hal ini Badan Pengelola Kalibata City.
Jawaban Tergugat
Di persidangan, para Tergugat menolak semua gugatan yang dilayangkan. PT Pradani Sukses Abadi, Tergugat I yang diwakili kuasa hukumnya Herjanto Widjaja Lowardi, berargumen seluruh hasil penagihan dan pembayaran listrik dari unit-unit satuan rusunami Kalibata City dicatat dalam pembukuan tersendiri dan dipertanggungjawabkan secara berkala kepada Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Kalau ada selisih perhitungan, maka itu menjadi tanggung jawab bersama untuk membayarnya ke PLN.
”Merupakan hak dan kewajiban dari gabungan seluruh pemilik dan penghuni satuan rumah susun selaku konsumen yang diwakili oleh pihak PPPSRS kepada pihak PLN selaku Penjual yang melakukan usaha penyediaan dan penjualan tenaga listrik,” demikian tertuang dalam jawaban Tergugat I.
Oleh karena itu, Badan Pengelola tidak menarik keuntungan dari selisih pembayaran atas biaya penggunaan, termasuk biaya pemakaian tenaga listrik. Tergugat mengklaim kebijakan ini juga sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 31 Tahun 2015 tentang Penyediaan Tenaga Listrik untuk Bangunan dalam Kawasan Terbatas.
Begitu pula berkaitan dengan biaya penggunaan air. Para tergugat berdalih bukan penjual air untuk diminum para penggugat. Seluruh hasil penagihan dan pembayaran penggunaan air dari unit-unit satuan rumah susun di Kalibata City juga dicatat dalam pembukuan tersendiri dan dipertanggungjawabkan secara berkala kepada pihak PPPSRS yang mewakili setiap dan seluruh pemilik dan penghuni sarusun di kawasan Kalibata City. Kalau ada selisih, harus ditanggung bersama sebagaimana listrik.
PT Palyja sebagai penyedia air tidak mungkin melayani satu persatu konsumen di rusunami, sehingga air dikelola bersama agar bisa mengalir ke semua penghuni. Berkaitan dengan tarif, Palyja menetapkan tarif berdasarkan gabungan keseluruhan pemakaian air di kawasan Kalibata City, bukan satu persatu penghuni. Tergugat menilai masalah air bukan kesalahan para tergugat.
Dalam repliknya, pihak Penggugat menyoroti pernyataan Tergugat yang menyatakan persoalan listrik diselesaikan PPPSRS. Padahal di Kalibata City ada dua kubu PPPSRS yang berdiri, pertama dibentuk oleh warga dan kedua oleh Pengelola. Dan kedua kepengurusan tersebut hingga kini juga belum mendapat pengesahan dari gubernur.
Para penggugat menepis argumentasi tergugat perihal tagihan listrik. Menurut para penggugat, dalam aturan yang ada di PLN koordinator penagihan tentu tidak bisa membuat tagihan sendiri, tapi tagihan dibuat oleh PLN. Selama ini pihak Tergugat dianggap menetapkan tarif seenaknya dan tanpa mematuhi peraturan yang berlaku. Inilah yang merugikan para penggugat.
Pengelola mengatakan pembayaran tagihan listrik ini merupakan kewajiban warga sesuai PPJB yang telah ditandatangani. Dalam replik, warga menegaskan sama sekali tidak mempersoalkan kewajiban itu. “Yang diperjuangkan adalah hak warga untuk mendapatkan tarif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, tanpa mark-up seperti yang selama ini dilakukan,” tulis Syamsul Munir, pengacara para penggugat.
Sumber: hukumonline.com
Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019 mengamanatkan beberapa ‘aturan turunan’ yang harus dibuat oleh kementerian/lembaga terkait.
Presiden Joko Widodo baru saja merilis Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019, pada (3/8) lalu. Dari aturan tersebut, sejumlah Kementerian/Lembaga diminta segera menyusun aturan teknis untuk pelaksanaan binsis online tersebut.
Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), AuIia E. Marinto, mengatakan bahwa pihaknya sangat menyambut baik dan mengapresiasi terbitnya Road Map e-Commerce atau selanjutnya disebut SPNBE 2017-2019. Menurutnya, peta jalan itu merupakan panduan dasar bagi ekosistem ekonomi digital yang mana terdapat total 31 inisiatif yang merupakan cikal terwujudnya iklim industri yang lebih baik terutama percepatan pengembangan e-Commerce, pelaku start-up, dan percepatan logistik di tanah air.
“Pemerintah terus mengawal pelaksanaan Perpres Peta Jalan e-Commerce agar upaya yang dilakukan setiap pemangku kepentingan ekonomi digital sejalan dan dapat mempercepat pengembangan potensi ekonomi,” kata Aulia di Jakarta, Rabu (16/8).
SPNBE 2017-2019, kata Aulia, masih bersifat umum sehingga masih perlu diterjemahkan skala prioritasnya. Amanat Perpres Nomor 74 Tahun 2017 meminta kementerian/lembaga terkait untuk menerbitkan sejumlah regulasi baru. Ada dua hal penting yang jadi perhatian, pertama regulasi tersbut jangan sampai tumpang tindih sehingga proses harmoniasi harus dilaksanakan agar seluruhnya berjalan paralel. Kedua, jangan sampai aturan tersebut gagal disusun oleh kementerian/lembaga terkait karena akan berdampak kepada industri ekonomi digital.
“Ini tidak boleh gagal (penyusunan aturannya). Kalau delay, iya tapi gagal tidak boleh,” kata Aulia.
Aulia mengingatkan, pelaku pada industri e-Commerce mengalami diversifikasi yang sulit dikelompokkan. Ada istilahnya pemain ‘e-Commerce mainstream’ seperti penyedia platform market place dan ada juga pelaku yang memanfaatkan social media (sosmed) di mana pada perkembangannya ikut melaksanakan transaksi secara online misalnya dengan payment gateway. Aulia menegaskan, sepanjang bisnis dilakukan dengan menggunakan media internet, maka mereka termasuk sebagai pelakue-Commerce.
“Akhirnya kita perlu pilah secara benar bagaimana kita perlakukan yang kita rancang di isu ini. Persamaan pajak, perizinan, dan akselerasi tanpa tinggalkan persoalan,” kata Aulia.
Sementara itu, Ketua Bidang Hukum idEA, Sari Kacaribu mengatakan, pemerintah jangan hanya terfokus pada upaya menyelesaikan sejumlah regulasi turunan namun harus memastikan regulasi itu nantinya tidak menghambat pelaku usaha yang sedang berjuang untuk tumbuh terutama pelaku start-up. Menurutnya, perkembangan suatu industri tidak selalu diikuti dengan regulasi baru bahkan ia lebih mendorong dilakukan deregulasi.
“Saya yakin Presiden bukan bermaksud buat regulasi. Industri yang masih muda ini akan cepat maju kalau tidak banyak regulasi,” kata Sari.
Sari melanjutkan, beberapa mandat aturan yang tertuang dalam Lampiran Perpres Nomor 74 Tahun 2017 pernah dibahas pemerintah dan ada pula yang sudah terbit aturannya. Satu aturan yang sudah terbit yakni terkait pengaturan National Payment Gateway (NPG) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Sementara, aturan lain yang sudah dibahas pemerintah sejak beberapa tahun belakangan ini salah satunya terkiat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau lebih dikenal dengan RPP e-Commerce.
Ambil contoh dari RPP e-Commerce misalnya, aturan tersebut hingga saat ini masih belum disahkan lantaran masih ada sejumlah hal yang menjadi perdebatan antara pemerintah dengan pelaku usaha. Kata Sari, idEA sendiri masih keberatan soal kewajiban pendaftaran pelaku e-Commerce. Dalam draf RPPe-Commerce, dikenal tiga jenis pelaku usaha yakni pedagang, penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektornik (PTPMSE) dan penyelenggara sarana perantara. Masing-masing diwajibkan mendaftarkan diri kepada pemerintah.
“Kalau mau ada pendaftaran, kita ingin tahu tujuannya apa. Kalau misalnya, industri sudah atur yang tujuannya sama, kita merasa ngga perlu diatur lagi. Contoh, pendaftaran merchant misalnya untuk perlindungan konsumen,” kata Sari.
Beberapa Aturan Turunan dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2017
No. | Program | Kegiatan | Keluaran | Target Waktu | Penanggung Jawab | Instansi Terkait |
1 | Pendanaan dan skema pembiayaan-pinjaman | Mengoptimalkan bank/IKNB sebagai penyalur KUR | Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang Tenant Pengembang Platform e-Commerce menjadi penerima dana KUR yang disalurkan Bank/IKNB | November 2017 | Menteri Koordinator Bidang Perekonomian | OJK, BI, Kominfo, Kemenkop, Bekraf |
2 | Penyediaan Pendanaan Alternatif dan Skema Pembiayaan-Hibah (grants/subsidi) | Menyelaraskan skema hibah dan subsidi untuk mendukung ekosistem ekonomi digital | Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Pemanfaatan Dana Universal Service Obligation (USO) | Oktober 2017 | Menteri Komunikasi dan Informatika | Kemenkop, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kemenkeu |
3 | Penyusunan Tat Cara Pendaftaran bagi Pelaku Usaha e-Commerce | Menyusun regulasi kewaiban pelaku usaha e-Commerce untuk mendaftarkan diri termasuk pelaku usaha asing | Peraturan Menteri Perdagangan tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penerbitan Nomor Identitas Pelaku Usaha Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elekteronik (TPMSE) | September 2017 | Menteri Perdagangan | Kemenkeu, Kominfo, Asosiasi e-Commerce dan Digital Economy |
4 | Persamaan Pelakuan Perpajakan | Regulasi yang mendukung pengenaan pajak atas pelaku usaha e-Commerce asing dan lokal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan | Peraturan Menteri/Kepala Lembaga Sektor Terkait | Februari 2018 | Menteri Koordinator Bidang Perekonomian | Kemenkeu, Kemendag, Kominfo |
5 | Penyusunan regulasi transaksi perdagangan melalui sistem elektronik | Menyelesaikan RPP tentang Transaksi Perdaganan Melalui Sistem Elektronik (RPP e-Commerce) | PP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik | Oktober 2017 | Menteri Perdagangan | Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenkumham, Kemensesneg |
6 | Membangun kepercayaan konsumen | Harmonisasi regulasi yang berlaku secara selaras dan konsisten | Kerangka hukum komprehensif yang akan mengakomodir: klasifikasi pelaku usaha berbasis elektronik (e-Commerce), sertifikasi elektronik, proses akreditasi, kebijakan mekanisme pembayaran | November 2017 | Menteri Koordinator bidang Perekonomian | Kementerian PPN/Bappenas, Kominfo, Kemendag, Kemenkumham, BPS, BI, OJK, Asosiasi e-Commerce dan Digital Economy |
7 | Pengembangan Gerban Pembayaran Nasional (National Payment Gateway/NPG) | Mengembangkan NPG secara bertahap yang dapat meningkatkan layanan pembiayan ritel elektronik termasuk transaksi perdagangan berbasis elektronik | Ketentuan pengaturan sarana pemrosesan transaksi pembayaran | Oktober 2017 | Gubernur Bank Indonesia | OJK, Kemenkeu, Kominfo |
8 | Pembentukan Manajemen Pelaksana Peta Jalan SPNBE 2017-2019 | Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengenai Pembentukan Manajemen Pelaksana Peta Jalan SPNBE 2017-2019 | Oktober 2017 | Menteri Koordinator Bidang Perekonomian | Kominfo |
Sumber: Lampiran Perpres 74/2017, diolah.
“Dari asosisasi sudah beberapa kali bicara sama DJP dan BKF terkait aturan apa yang pas dalam roadmap,” kata Bima.
Menurut Bima, isu yang mengemuka terkait hal tersebut adalah perlakuan pajak di mana pelaku e-Commerce lokal diwajibkan patuh dengan aturan pajak di Indonesia seperti harus menggunakan badan hukum Indonesia namun untuk pelaku e-commerce asing aturan tersebut tidak bisa diimplementasikan. Selain itu, isu pajak yang terus menjadi concern idEA adalah terkait perlakuan PPN atas pemberian cuma-Cuma jasa kena pajak bagie-Commerce.
Sebagai informasi, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-Commerce sempat menjadi perhatian pelaku e-Commerce terutama terkait aspek perpajakan PPN pada model bisnis classified ads. definisi classified ads berdasarkan SE-62/PJ/2013 adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara classified ads.
Poin utama yang menjadi perhatian para pelaku e-Commerce adalah mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN atas pemberian jasa pada model bisnis classified ads yang tidak memungut bayaran atau gratis. Mereka berpendapat bahwa atas transaksi tersebut seharusnya DPP-nya adalah nol rupiah. Padahal, pihak Ditjen Pajak berulang kali menjelaskan bahwa dalam hal pengiklan tidak perlu membayar (gratis) untuk memasang iklan di tempat yang disediakan oleh Pengelola Classified Ads, maka penyelenggara classified ads melakukan pemberian cuma-cuma kepada pengiklan yang terutang PPN, DPP untuk pemberian cuma-cuma JKP adalah penggantian setelah dikurangi laba kotor.
Pasal 4 ayat (1) huruf C UU PPN, yaitu PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada paragraf penjelasan bahwa termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Selain itu, pasal 2 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.03/2015 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dijelaskan bahwa untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor Sehingga DPP atas pemberian JKP cuma-cuma atau gratis bukanlah nol rupiah, melainkan sejumlah nilai penggantian setelah dikurangi laba kotor.
“PPN cuma-cuma kita berjuang dari tahun 2016. Yang terjadi, kita buat NA (naskah akademik) sudah kita kasih ke BKF. Dengan roadmap, ini bisa jadi perlakuan penyederhanaan pajak,” kata Bima.
Majelis Komisioner KPPU harus mampu menjelaskan dasar pertimbangan besaran denda yang diputuskan.
Saat ini denda persaingan usaha kerap menjadi polemik di kalangan pelaku usaha yang diputus bersalah oleh KPPU. Pelaku usaha kerap mengatakan bahwa pengenaan denda dinilai berotensi menggangu iklim usaha dan investasi sehingga berdampak kontraproduktif terhadap perekonomian nasional. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur ketentuan denda minimal sebesar 1 Milyar dan Maksimal Rp25 milyar.
Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan, “tindakan Administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa: (g) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah).”
Dalam laporan tahunan 2016, KKPU menyebutkan bahwa denda sendiri merupakan salah satu bentuk usaha untuk mengambil keuntungan yang timbul akibat tindakan anti persaingan usaha. Selain itu, denda juga ditujukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha agar tidak melakukan kembali tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelaku usaha lainnya.
Maka dari itu, agar efek jera tadi efektif, secara ekonomi denda yang ditetapkan harus bisa menjadi sinyal atau setidaknya dipersepsikan oleh pelanggar sebagai biaya (expected cost) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat (expected benefit) yang didapat dari tindakanya melanggar UU Persaingan.
Sementara itu, dalam draft amandemen UU Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur perubahan ketentuan besaran denda dengan pengenaan denda paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari nilai penjualan dari Pelaku Usaha pelanggar dalam kurun waktupelanggaran.
Ketua Bidang Kebijakan Publik, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Danang Girindrawardana, menilai besaran sanksi administrasi maksimal sebesar 30 % terhadap pelaku usaha yang melakukan praktik anti persaingan usaha tidak berangkat dari sebuah kajian yang cukup valid dan memadai.
Menurut Danang, untuk menghitung nilai penjualan sebesar 30 % sebuah perusahaan korporasi tidaklah mudah sehingga dalam penerapannya nanti apabila besaran denda tersebut disahkan, KPPU bisa menemukan kesulitan dalam menentuakan acuan 30% denda. “Saya melihat ancaman 30 % itu tidak diimbangi dengan kemampuan kelembagaan KPPU untuk memvalidaasi,” ujar Danang.
Menurut Danang, Apindo sendiri sebenarnya tidak terfokus kepada persoalan besaran denda yang 30 % tersebut, namun yang mesti dilihat dari perubahan ketentuan besaran denda terhadap pelaku anti persaingan usaha adalah semangat pemberian sanksi.
“Semangatnya itu adalah harus membina dunia usaha bukan semangat membunuh, karena 30 % itu membunuh. Kalau di perbankan, dunia financial industry, 10 % saja sudah membunuh apalagi 30 %. Di dunia consumer group, retail dan sebagainya juga itu bisa mematikan dan membuat iklim investasi di Indonesia itu menakutkan,” ujar Danang.
Melalui Laporan Tahunan KPPU tahun 2016, KPPU menjelaskan mekanisme penentuan besaran denda berdasarkan ketentuan besaran denda yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. Terdapat dua langkah yang setidaknya mesti dilakukan. Yakni, KPPU akan menentukan besaran nilai dasar, kemudian KPPU melakukan penyesuaian dengan menambahkan atau menguarangi besaran nilai dasar tersebut.
Misalnya, dalam pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok terlapor, maka nilai penjualan akan dihitung sebagai penjumlahan dari seluruh penjumlahan dari seluruh nilai penjuala anggitanya. Pun dalam menentukan nilai penjualan terlapor. KPPU akan menggunakan nilai perkiraan penjualan yang paling menggabarkan nilai penjualan sebenarnya. Nilai penjualan akan ditentukan sebelum PPN dan pajak lainnya yang terkait secara langsung dengan nilai penjualan tersebut.
Jadi ketika KPPU memutuskan terlapor atau sekelompok terlapor untuk membayar denda, maka KPPU telah melakukan penghitungan secara cermat dengan memperhatikan berbagai aspek.
Selama 2016, KPPU telah memutus 22 dari 24 perkara yang sedang berjalan. Dari 22 perkara yang diputus tersebut, KPPU berhasil mengenakan denda senilai Rp 350.318.471.156,-. Sebagai contoh, dari tiga perkara yang ditangani KPPU, yakni perkara No. 01/KPPU/KPPU-L/2016, perkara No. 02/KPPU-L/2016 danperkara No. 03/KPPU-L/2016, KPPU total denda yang dikenakan kepada Terlapor berjumlah Rp 146.533.523.338,-. Tentu saja nilai denda yang akan masuk ke kas negara juga akan bertambah.
Denda dan Ganti Rugi Tahun 2000–2016 · Denda Sebesar 2.016.062.667.651 · Denda Bersyarat Sebesar IDR 33.239.749.520 · Ganti Rugi sebesar IDR 694.952.000.935 |
Pakar Hukum Persaingan Usaha Universitas Indonesia, Kurnia Toha, mengatakan putusan terkait besaran denda yang paling tepat adalah tergantung kepada Majelis Komisioner. Namun, dalam memutus besaran denda tersebut, Majelis Komisioner harus mampu menjelaskan dasar pertimbangan besaran denda yang diputuskan. Kurnia juga menjelaskan bahwa pengaturan yang lebih teknis mengenai denda sebaiknya diatur melalui aturan pelaksana semacam Peraturan Komisi.
“Tentu dalam memutus besaran denda, komisioner yang harus menjelaskan kenapa dendanya jadi seperti itu. Gak bisa seperti orang kira-kira, harus ada penjelasannya. Tapi tentu itu tidak di UU. Itu harus diatur dalam peraturan pelaksana dan kemudian dalam putusan setiap kasus baru bisa melihat denda yang dianggap adil itu berapa,” kata Kurnia.
Sementara terkait besaran denda maksimal 30%, Kurnia memberikan catatan. Menurutnya, harus diperhatikan lebih dahulu bagaimana praktik di berbagai negara yang sudah jauh berpengalaman dari Indonesia.
“Nah saya lihat di berbagai negara itu maksimum itu 10 %, jadi saya mengusulkan maksimum denda 10 %, kalau 30 % terlampau besar. Kalau di jepang, industri pada umumnya 6 %, untuk wallshell, 1 %, untuk retail, dia kena 2%. Kalau di negara lain seperti uni eropa, Australia, Inggris, maksimum 10%,” ujar Kurnia.
Problem pengenaan denda yang sering dihadapi KPPU adalah tidak kapoknya si pelaku (terlapor) untuk melakukan perbuatan serupa. Karena dalam laku bisnis, misal dalam perkara tender, biasanya pelaku usaha memiliki lebih dari satu bendera (perusahaan). Sehingga, ketika sebuah perusahaan mendapat peringatandari KPPU terkait aktifitas usahanya yang berbau anti persaingan, maka ia masih memiliki cadangan perusahaan lain. Ini tentu jadi pekerjaan besar bagi KPPU dan legislatif di saat sedang merampungkan proses amandemen yang sekarang terus berjalan.
Ke depan, pengaturan mengenai denda persaingan usaha ini jelas harus disusun ulang. Harus ada patokan yang jelas berapa maksmimum denda dapat dirumuskan. Dalam menentukan patokan maksimum denda tersebut hal yang perlu diperhatikan adalah filosofi denda itu sendiri seperti di atas, yaitu denda adalah penderaan, bukan bertujuan untuk memperkaya negara atau memiskinkan terpidana.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU FH UI), Dita Wiradiputra. Menurutnya, denda yang sekarang memang sudah tidak pas lagi dengan kondisi pelaku usaha yang ada. Karena di dalam UU No.5 Tahun 1999, denda yang diberlakukan terlalu rendah, maksimal Rp25 milyar.
“Itu dilihat tidak membuat pelaku usaha menjadi takut. Pelaku usaha tidak menjadi jera kalau mereka melakukan pelaggaran. Karena buat mereka, niali segitu tidak terlalu signifikan,” katanya.
Pertanyaannya sekarang, kata Dita, apakah dengan menaikkan besaran denda ke angka yang berpuluh-puluh kali lipat dari Rp25 miliar akan menjerakan pelaku anti persaingan usaha? Lewat laporan tahunan 2016, KPPU menjawab “Tentu ini pantas dicoba”.
Tantangan KPPU ke depan adalah tidak sekadar menjadi lembaga penegakan hukum yang hanya menitikberatkan pada besaran denda atau banyaknya penanganan perkara tetapi juga pada perannya sebagai agen perubahan perilaku pelaku usaha.
Tolok ukur keberhasilan KPPU bukan pada seberapa banyak perkara yang ditangani namun pada perannya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jadi penindakan dalam bentuk penghukuman pada dasarnya adalah upaya terakhir setelah upaya penyadaran melalui advokasi untuk mengubah perilaku pelaku usaha dan kebijakan regulator dilakukan.
Sumber: hukumonline.com